Jawah Tengah (RN) – Monumen Pers Nasional yang terletak di Jl Gajahmada No. 59 Timuran Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta Jawa Tengah adalah monumen sekaligus museum pers nasional Indonesia.
Monumen ini menyimpan informasi sejarah perkembangan pers nasional di Indonesia. Monumen Pers Nasional ini menyimpan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan pers, dari mulai koran dan majalah kuno hingga koleksi barang seperti mesin ketik, pemancar radio, kamera, hingga memorabilia hingga nama sejumlah tokoh wartawan nasional yang terpampang di monumen tersebut.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah Monumen Pers Nasional, Kami dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Pesawaran Lampung melakukan Kunjungan langsung dan menemui Pengurus PWI Surakarta pada Selasa (22-04-2025) sekira pukul 10:00 WIB kami sampai di Kantor PWI Surakarta yang jaraknya berdekatan dengan Monumen Pers Nasional.
“Sugeng rawuh, monggo,” kata Ketua PWI Surakarta Anas Syahirul memberi isyarat kepada kami dengan bahasa jawa, memberikan ucapan selamat datang kepada rombongan PWI Pesawaran, Lampung.
Anas menceritakan, sejarah Monumen Pers Nasional dibangun pada tahun 1918. Berdirinya Monumen Pers Nasional diprakarsai oleh KGPAA Mangkunegara VII, Pangeran Adipati Aryo Prangwedana. Awalnya tujuan didirikannya Monumen Pers Nasional adalah sebagai balai perkumpulan dan ruang pertemuan.
“Meski baru dibangun pada tahun 1918, tetapi rancangan gambar gedung Monumen Pers Nasional ini telah diberikan kepada Mangkunegara VII sejak tahun 1917. Bangunan Monumen Pers Nasional dirancang oleh Mas Aboekasan Atmodirono, seorang arsitek asal Wonosobo,” kata Anas
Menurutnya, Sebelum menjadi Monumen Pers Nasional, dulunya gedung ini memiliki nama Societeit Sasana Soeka. Monumen Pers Nasional merupakan tempat lahirnya sebuah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tanggal 9 Februari 1946. Maka monumen ini memiliki arti penting bagi pers nasional di Indonesia.
Ayu salah satu pemandu Monumen pers nasional menjelaskan, Monumen yang terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah itu berdiri di atas lahan seluas 2.998 meter persegi dan diresmikan pada 9 Februari 1978 oleh Presiden RI Kedua, Soeharto. Kendati ada embel-embel nama monumen, sejatinya tempat ini berfungsi sebagai sebuah museum yang menyimpan banyak benda bersejarah terkait perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia.
Koleksi umum yang dimiliki berupa arsip edisi koran dan majalah yang terbit di Indonesia. Di lantai dua bangunan Monumen Pers menyimpan koleksi koran yang luas, baik fisik maupun digital. Di lantai dua, terdapat 106.326 edisi koran, dan di lantai tiga ada 64.032 edisi. Selain itu, ada 154.546 edisi koran yang disimpan secara digital (softcopy).
“Koleksi juga mencakup koran tertua, yaitu Java Government Gazette yang diterbitkan tahun 1816. Berikut adalah detail lebih lanjut tentang koleksi koran di Monumen Pers Nasional, Koleksi Fisik:Lantai dua: 106.326 edisi koran. Lantai tiga: 64.032 edisi koran. Koleksi Digital: 154.546 edisi koran. Koran Tertua: Java Government Gazette (1816),” kata dia.
Selain koran, Monumen Pers Nasional juga menyimpan majalah, dengan koleksi fisik dan digital yang luas. Koleksi majalah juga termasuk majalah tertua, yaitu Tjaja Hindia edisi 1913. Monumen Pers Nasional menyediakan layanan arsip digital bagi pengunjung yang ingin mengakses koleksi koran dan majalah secara digital.
Bukan koran dan majalah saja yang menjadi barang koleksi di monumen tersebut Sejumlah peralatan penunjang kerja jurnalistik wartawan juga turut disimpan. Misalnya, mesin ketik, pemancar radio, kamera, hingga memorabilia sejumlah tokoh wartawan nasional. Seperti mesin ketik milik Bakrie Soeraatmadja.
Kemudian kisah penyelamatan sebuah transmisi pemancar radio berkekuatan 1 kilowatt milik RRI Surakarta ke Tawangmangu oleh Kepala RRI saat itu, Maladi. Upaya itu dilakukan karena tersiar kabar stasiun PTP Goni di Delanggu dibom pasukan Belanda, pada Desember 1948, ketika berupaya untuk kembali menjajah Indonesia.
“Pemindahan pemancar tidak berlangsung mulus karena truk pengangkut tak bisa masuk ke jalan yang sempit di Desa Punthukrejo, Karanganyar. Alhasil, pemancar seberat 1,5 ton diturunkan di ujung jalan dan diangkut beramai-ramai oleh warga menggunakan tiang listrik,” kata Ayu.
Upaya pengangkutan harus dilakukan malam hari agar tidak ketahuan pihak Belanda. Perlu waktu empat hari untuk mencapai Desa Balong, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, sebagai lokasi yang diperintahkan Maladi untuk menyelamatkan pemancar.
Sebuah kebun warga yang ditumbuhi ilalang tinggi dan kandang kambing menjadi lokasi studio darurat RRI agar tetap bisa mengudara. Di tempat ini pula pemancar disembunyikan, ditutupi ilalang kering dan terpal.
“Uniknya, ketika mereka bersiaran mengabarkan situasi Indonesia kepada dunia, tak jarang suara kambing mengembik turut terdengar. Itulah sebabnya siaran mereka dapat julukan radio kambing. Siaran dari dekat kandang kambing itu berlangsung dari Januari 1949 hingga awal 1950,” tuturnya. (red)