Lampung – Dulu saya hanyalah seorang pengantar koran (Loper). Sekarang saya menjadi wartawan yang kompeten.
Semenjak pemekaran Kabupaten Pesawaran dari Kabupaten Lampung Selatan 16 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2007, hanyalah seorang loper yang setiap pagi mengantar koran ke kantor-kantor instansi pemerintah dan sekolah-sekolah.
Hampir delapan tahun saya menjadi pengantar koran (Loper), dan begitu banyak proses kehidupan yang saya alami. Namun saat ini, saya yang tanpa pengalaman sama sekali, akhirnya bisa jadi wartawan kompeten. Bahkan saya bisa memiliki media sendiri.
Proses itu terjadi pada saat bertemu dengan seseorang yang sangat berarti bagi saya hingga saat ini. Karena jasa dia, saya bisa merubah kehidupan yang tadinya hanyalah seorang pengantar koran kini bisa menjadi wartawan kompeten.
Tahun 2013, saya dikenalkan dengan seorang pemilik media cetak yang ada di Provinsi Lampung. Dan secara singkat, saya di angkat menjadi Kepala Biro perwakilan Kabupaten Pesawaran. Saat itu, bukannya saya bersyukur mendapatkan pekerjaan baru, namun saya malah takut menjadi wartawan. Kenapa.? Karena saya sama sekali tidak ada pengalaman untuk menjadi wartawan.
Namun dengan tekat yang bulat, dan selalu di support dengan seseorang yang selalu membimbing saya, hampir satu tahun akhirnya saya bisa menjalani profesi yang baru yaitu menjadi wartawan.
Tidak hanya sampai disitu saja. Seseorang yang selalu membantu saya ini tidak hentinya selalu mendukung, hingga pada awal tahun 2015, saya di ajak untuk bergabung di organisasi yang ada di Kabupaten Pesawaran, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Timbul pertanyaan kenapa saya bergabung di PWI? Itu pasti. Sedangkan banyak organisasi pers yang lain. Tapi setelah saya ketahui, PWI adalah organisasi pers tertua di Indonesia, yang lahir satu tahun setelah Kemerdekaan Indonesia, tepat nya pada tahun 1946 di Kota Solo. Selain itu, PWI adalah organisasi yang diakui keberadaannya oleh pemerintah.
Namun waktu itu, untuk menjadi anggota PWI tidaklah mudah. Ada berapa syarat yang harus saya penuhi untuk menjadi anggota PWI. Dan Alhamdulilah, pada pertengahan tahun 2015 tepatnya bulan Juni saya resmi menjadi anggota PWI Kabupaten Pesawaran dengan diterbitkannya kartu biru.
Semenjak saya bergabung di Organisasi PWI, kemampuan menulis saya selalu di asah. Saya di didik dengan keras oleh seseorang yang saya anggap sebagai pahlawan ini. Mulai dari ketelitian, dimana saya harus teliti tentang typo, spasi dan sesuai tidaknya dengan KBBI. Dan juga di didik agar mentalnya kuat seperti para wartawan lainnya.
Sejujurnya, pada saat itu saya kurang menyukai pekerjaan itu. Menurut saya, pekerjaan wartawan sangat menantang, selain kita bisa menulis, seorang wartawan harus mempunyai kemampuan bahasa, pola pikir yang cerdas. Saya juga sering merasa jenuh dan seperti tidak berguna pada saat tulisan saya selalu di caci dan dihina, kerena tidak beraturan dan tidak memenuhi unsur 5W+1H.
Singkat cerita, sepertinya Allah SWT/Tuhan YME merasa kasihan melihat saya yang selalu seperti itu dan tidak ada perubahan. Suatu hari di bulan September tahun 2020, sebuah jalan baru muncul. Hidup saya pun berubah. Dari momen ketika saya bukan apa-apa, semuanya langsung berubah menjadi baik.
Saya juga mengikuti Uji kompetensi wartawan (UKW) selama tiga hari yang diselenggarakan oleh PWI Provinsi Lampung, yang dibuka oleh Ketua PWI Provinsi Lampung saat itu Bapak Supriadi Alfiyan. Dan Alhamdulilah saya lulus. Walaupun bukan yang terbaik, tapi saya sangat bangga karena bisa merasakan bagaimana menjadi seorang wartawan sesungguhnya, dan resmi menjadi wartawan bersertifikat.
Dalam UKW itu, banyak ilmu-ilmu jurnalis yang saya dapat, seperti tentang etika jurnalis profesional yang membuat saya merasa memang profesi ini memiliki tanggung jawab besar dan berdampak pada masyarakat luas
“Wartawan Indonesia harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Dan selalu berpegangan kode etik jurnalistik,” kata Supriadi Alfiyan kala itu.
Hal itu bukan tanpa alasan, karena ketika hasil karya jurnalistik kita muncul di publik, saat itu juga kita memberikan edukasi dan informasi kepada setiap pembaca yang berbeda karakter dan usia. Sehingga sangat penting bagi kita sebagai penulis berita, untuk menyampaikan informasi yang memang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Karena memang itulah tugas pokok kita sebagai jurnalis, wajib memberikan informasi yang dibutuhkan publik. “Kita mengabdi untuk publik.”
Saya sangat bersyukur, karena bisa banyak belajar dari UKW, dan bisa lulus bersama dengan puluhan peserta lainnya. Karena dari semua pelajaran dan pengalaman ini, kita semua resmi jadi wartawan bersertifikat, dan teruji oleh Dewan Pers.
Disisi lain, insan pers tanah air setiap tahunnya memperingati hari Kebebasan pers sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei. Peringatan Hari Pers Sedunia ini ditujukan untuk memperingati prinsip dasar kemerdekaan pers, guna mengukur kebebasan pers di seluruh dunia. Hal itu juga sebagai dasar untuk mengetahui arti penting kebebasan pers sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.
Peringatan hari pers tersebut mungkin hanya sekedar acara rutinitas tahunan, tetapi ada hal yang jauh lebih penting untuk dikaji secara bersama, yakni terkait kebebasan pers dan tantangan pers apa lagi, khususnya di era digital seperti sekarang ini.
Kerena Kemerdekan Pers pada hakikatnya bukanlah hak eksklusif dari komunitas pers semata. Kemerdekaan pers adalah hak konstitusional yang berakar kepada jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi.
Di Indonesia, jaminan hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi diatur dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, dan jaminan kemerdekaan pers diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Secara umum kedua aturan ini mencakup dua hal, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta Berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Namun di jaman digitalisasi ini, setelah terbitnya UUD ITE, membatasi kebebasan wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pemberitaan kritis, pengungkapan informasi yang penting bagi masyarakat, dan penegakan akuntabilitas publik, menjadi terhambat akibat ketentuan-ketentuan yang ambigu.
Tak jarang kegiatan jurnalistik yang dilindungi undang-undang ini tercederai, karena berbagai bentuk ancaman bahkan kekerasan dan intimidasi. Bahkan tak jarang seorang wartawan cedera saat menjalankan profesinya di lapangan.
Sedangkan tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Menghalangi wartawan atau jurnalis pada saat menjalankan tugasnya dapat di pidana, dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000.
Ke depan, harapan kita pasal tersebut secara tegas di terapkan secara maksimal, sehingga profesi sebagai wartawan dalam menjalankan tugas tidak mendapatkan Intimidasi dari pihak manapun.
Penulis: Nurizal